Cari Blog Ini

Jumat, 28 Januari 2011

Manunggaling


Manunggaling kawula gusti

swuh rep data pitana
sekaring bhawana langgeng

dalam gumelaring jagad, atau tergelarnya alam semesta manusia selalu ingin tahu darimanakah dia berasal. Dalam khazanah pengetahuan jawa, keingin-tahuan ini diwujudkan dalam sebuah konsep yaitu sangkan paraning dumadi, alias asal usul jagad-raya. Manusia jawa melihat alam semesta ini tidak hanya yang berwujud saja melainkan juga yang tanpa wujud. Wujud di sini di artikan semua kenyataan hidup (kasunyatan) yang dapat dijangkau dengan indera, sementara tanpa wujud adalah suatu hal yang kelima panca indera manusia tidak mampu menjangkaunya. Pandangan universal jawa ini menyatakan bahwa manusia adalah titah dumadi yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harmonis dengan jagad rat pramudhita (jagad raya seisinya). Dengan demikian, maka orang jawa kurang mempedulikan ritual - ritual yang bersifat hubungan yang khusus dengan sang pencipta, karena ritual tersebut pada hakekatnya juga dipandang sudah tercakup di dalam interaksi sosial (antar manusia) dan juga interaksi dengan alam sekitarnya. Dus antara pekerjaan, interaksi, dan doa, tidak ada batasan atau prinsip yang hakiki. Hal ini berarti pemujaan kepada sang pencipta alam diwujudkan dalam kehidupan sehari - hari yang membumi dan riil.

Prinsip universal ini yang melahirkan istilah "sedulur tunggal dina kelahiran" (saudara satu hari kelahiran), apa artinya? Yaitu bahwa apapun makhluknya yang tumbuh / muncul bertepatan dengan saat seseorang dilahirkan maka makhluk tersebut dianggap sebagai saudara. Betapa luhurnya pandangan ini. Falsafah "sedulur tunggal dina kelahiran" menegaskan betapa kedudukan manusia juga sebagai makhluk-nya, walaupun disebutkan manusia adalah makhluk yang paling sempurna dan mulia, namun falsafah ini mengajarkan pula agar sebagai khalifah, manusia janganlah bersikap sombong dan arogan. Singkatnya, anak genderuwo, bekasakan, thethekan, kambing, kucing, monyet, tapir, tunas pohon pisang dsb yang kebetulan lahir / tumbuh bersamaan dengan lahirnya seorang manusia, maka kesemua makhluk itu harus dianggap sebagai saudara. Bahkan di jaman dahulu orang jawa sering membuat minuman dawet ketika ada hewan ternaknya ataupun hewan piaraannya yang melahirkan karena merayakan gumelaring titah dumadi, atau penciptaan makhluk oleh sang pencipta.

Dengan menganggap adanya saudara tunggal hari kelahiran ini, maka seorang manusia jawa akan berhati - hati dalam bertindak. Ia tidak akan membabati hutan sedemikian buasnya karena siapa tahu, di dalam hutan itu ada makhluk - makhluk yang merupakan sedulur tunggal dina kelahirannya. Ia tidak akan menumpahkan polusi kedalam sungai, danau, dan laut, karena boleh jadi tindakan itu akan menyakiti saudara - saudaranya. Sayangnya keluhuran budi ini sering dianggap sebagai tahayul, gugon tuhon, bahkan tidak sedikit dianggap sesat dan bid'ah. Akibatnya adalah orang menjadi beringas, ia tidak ingkat kalau statusnya sebagai khalifah itu seharusnya membawanya menjadi orang yang bijak dan bajik. Nafsunya menguasai "rasa" sehingga tumpullah sudah persaudaran antara sesama makhluk. Manusia menjadi perusak hutan kelas wahid. Sumur, sungai, danau, laut dipenuhi racun mematikan yang membunuh flora dan fauna. Terjadilah kerusakan di mana - mana! Ketika air bah melanda, dan banjir menggenang, ratusan nyawa melayang, tapi apalah daya. Manusia mengerang merintih memohon ampunan. Dikatakannya semua itu adalah takdir, semua itu adalah ujian. Tapi tuhan bersabda bahwa telah jelas kerusakan di muka bumi ini adalah akibat ulah manusia. Jangan pernah menyalahkan-nya untuk nestapa yang dialami manusia.

Kesadaran bahwa manusia itu adalah bagian dari alam semesta membawa manusia jawa kepada konsep jagad cilik dan jagad gedhe. Jagad cilik adalah manusia itu sendiri dan jagad gedhe adalah tatanan kosmis alam semesta. Manusia perlu senantiasa menyadari bahwa kedua jagad itu harus selalu dalam keadaan harmonis. Kesadaran konstan akan pengertian bahwa jagad cilik dan jagad gedhe harus bersatu merupakan tujuan akhir seorang manusia. Artinya dalam setiap hembusan nafasnya ia selalu sadar bahwa dirinya adalah bagian dari alam semesta dan tentunya ia harus "hamemayu hayuning bhawana", atau memperindah dunia yang sudah indah ini. Untuk terus menerus sadar ini dibutuhkan sebuah tatanan atau aturan. Tatanan ini yang disebut dengan "sedulur papat lima pancer". Konsepsi yang terkesan rumit ini sebenarnya simpel, yaitu bahwa apapun di dunia ini selalu tersusun atas inti dan plasma. Mulai dari galaksi sampai atom sekalipun selalu tersusun atas inti dan plasma. Matahari sebagai pancer-nya dan planet planet yang mengitarinya sebagai plasma-nya. Atom tersusun atas inti atom dan kulit atom sebagai plasmanya.

Hubungan inti dan plasma ini berlangsung kekal abadi. Inti dan plasma bersinergi, yang satu tidak mungkin ada tanpa yang satunya lagi. Inti tidak bisa bekerja tanpa plasma dan demikian pula sebaliknya. Sedulur papat tiada guna tanpa adanya pancer dan pancer tiada berfungsi tanpa bantuan sedulur papat. Sedulur papat dimulai saat diri seorang manusia masih berada dalam boemi soetji alias masih di dalam guwa garba seorang ibu. Di dalam rahim ada 4 komponen utama yang mendukung kehidupan janin. Mereka adalah air ketuban, ari - ari (tembuni), pusar, dan darah. Air ketuban yang di dalam rahim berfungsi menjaga si jabang bayi, meredam benturan, ari - ari menyerap sari makanan dari tubuh ibu, pusar menjalan tugas sebagai saluran darah untuk membawa sari - sari makanan yang diserap ari - ari ke dalam tubuh si bayi. Maka dari itu orang jawa sangat menghormati fungsi keempatnya. Air ketuban yang keluar mendahului bayi disebut sebagai kakang kawah, plasenta yang keluar setelah bayi disebut sebagai adhi ari - ari, dan darah disebut sebagai ponang getih dan terakhir puser. Bayi sebagai pancernya dan sedulur papat sebagai plasmanya. Ketiadaan salah satu unsur membuat unsur yang lain tiada berguna.

Seorang bayi beserta ke empat saudaranya ketika lahir sebenarnya hanya berpindah tempat. Ia masih berada di dalam rahim, namun bukan lagi rahim ibu biologis melainkan rahim ibu pertiwi. Jadi analog dengan keadaan ketika masih berada di dalam rahim seorang ibu, maka ketika manusia berada di dalam kandungan alam semesta yang disebut sebagai boemi moeljo ini sedulur papat selalu menemani. Singkatnya, manusia tidak akan bisa bertahan hidup tanpa adanya bantuan sedulur papat di dunia ini. Ketika lahir, sedulur papat dan pancernya disebut sebagai "sedulur tunggal pertapan, nunggal sak wat, ning beda-beda panggonane" yang artinya "saudara satu tubuh, keluar lewat jalan yang sama, tetapi berbeda - beda tempatnya". Nah sekarang apakah yang berada satu tubuh dengan diri kita, dan fungsinya adalah menyokong kehidupan?.

Ingatkah kisah damarwulan dan minakjingga? Ketika damarwulan ingin mendapatkan ratu ayu kencanawungu, ia harus memenggal kepala minakjingga. Apa maknanya? Kencanawungu berparas ayu, ayu itu rahayu, rahayu itu wilujeng, selamat. Kepala merupakan sumber nafsu. Nafsu diperlukan dalam kehidupan seorang manusia untuk membuatnya menjadi manungsa sejati, sebenar-benar manusia. Namun apabila diperbudak oleh nafsu maka hanya akan menimbulkan kesesatan selama hidup di dunia. Maka itu agar beroleh keselamatan maka harus memenggal nafsu yang sumbernya ada di kepala anda. Ketika seseorang bersamadhi ia membuka matanya, namun nampak olehnya seorang gadis yang sangat memesona. Runtuhlah keteguhan samadhinya karena tergoda akibat melihat sang gadis. Ia mengulang samadhinya, kini dengan mata terpejam. Namun lamat - lamat ia mendengar si gadis melantunkan kidung dengan suara merdu bagai buluh perindu. Runtuh pula samadhinya. Kini ia kembali memulai samadhi. Ia memejamkan mata dan fokus pada samadhinya, namun ketika sang gadis semakin mendekat maka tercium bau wangi aroma tubuh si gadis yang semerbak bak bunga melati. Sang pertapa kembali gentar, betapa samadhinya kini rusak. Sang pertapa kembali memulai patrap samadhinya. Ia sudah memejamkan mata sehingga tidak bisa melihat paras ayu sang gadis. Ia sudah memantapkan tekadnya untuk tidak merespon suara, ia tiada menghiraukan bebauan yang masuk ke dalam lubang hidungnya. Sang gadis menjadi semakin dekat dengan sang pertapa, ketika ia lewat ternyata angin meniup selendang sang gadis sehingga menyentuh tubuh sang pertapa. Sang pertapa merasakan kain yang halus selembut sutera dan seketika itu pula rusaklah samadhinya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger