Dalam
bahasa Sanskerta, secara
harfiah kata
Arjuna berarti "bersinar terang", "putih" , "bersih". Dilihat dari maknanya, kata
Arjuna bisa berarti "jujur di dalam wajah dan pikiran".
Arjuna mendapat julukan "Kuruśreṣṭha" yang berarti "keturunan dinasti Kuru yang terbaik". Ia merupakan manusia pilihan yang mendapat kesempatan untuk mendapat wejangan suci yang sangat mulia dari
Kresna, yang terkenal sebagai
Bhagawadgita (nyanyian
Tuhan).
Ia memiliki sepuluh nama: Arjuna, Phālguna, Jishnu, Kirti, Shwetawāhana, Wibhatsu, Wijaya, Pārtha, Sawyashachi (juga disamakan dengan Sabyasachi), dan Dhananjaya. Ketika ia ditanya tentang sepuluh namanya sebagai bukti identitas, maka ia menjawab:
“ | Sepuluh namaku adalah: Arjuna, Phālguna, Jishnu, Kirti, Shwetawāhana, Wibhatsu, Wijaya, Pārtha, Sawyashachi dan Dhananjaya. Aku dipanggil Dhananjaya ketika aku menaklukkan seluruh raja pada saat Yadnya Rajasuya dan mengumpulkan harta mereka. Aku selalu bertarung sampai akhir dan aku selalu menang, itulah sebabnya aku dipanggil Wijaya. Kuda yang diberikan Dewa Agni kepadaku berwarna putih, itulah sebabnya aku dipanggil Shwetawāhana. Ayahku Indra memberiku mahkota indah ketika aku bersamanya, itulah sebabnya aku dipanggil Kriti. Aku tidak pernah bertarung dengan curang dalam pertempuran, itulah sebabnya aku dipanggil Wibhatsu. Aku tidak pernah menakuti musuhku dengan keji, aku bisa menggunakan kedua tanganku ketika menembakkan anah panah, itulah sebabnya aku disebut Sawyashachī. Raut wajahku unik bagaikan pohon Arjun, dan namaku adalah "yang tak pernah lapuk", itulah sebabnya aku dipanggil Arjuna. Aku lahir di lereng gunung Himawan, di sebuah tempat yang disebut Satsringa pada hari ketika bintang Uttarā Phālgunī berada di atas, itulah sebabnya aku disebut Phālguna. Aku disebut Jishnu karena aku menjadi hebat ketika marah. Ibuku bernama Prithā, sehingga aku disebut juga Pārtha. Aku bersumpah bahwa aku akan menghancurkan setiap orang yang melukai kakakku Yudistira dan menaburkan darahnya di bumi. Aku tak bisa ditaklukkan oleh siapa pun. | ” |
Kelahiran
Dalam
Mahabharata diceritakan bahwa Raja
Hastinapura yang bernama
Pandu tidak bisa melanjutkan keturunan karena dikutuk oleh seorang
resi.
Kunti (istri pertamanya) menerima anugerah dari
Resi Durwasa agar mampu memanggil Dewa-Dewa sesuai dengan keinginannya, dan juga dapat memperoleh anak dari Dewa tersebut. Pandu dan Kunti memanfaatkan anugerah tersebut kemudian memanggil Dewa
Yama (Dharmaraja; Yamadipati), Dewa
Bayu (Marut), dan Dewa
Indra (Sakra) yang kemudian memberi mereka tiga putra. Arjuna merupakan putra ketiga, lahir dari Indra, pemimpin para Dewa.
Sifat dan kepribadian
Arjuna memiliki karakter yang mulia, berjiwa kesatria, imannya kuat, tahan terhadap godaan duniawi, gagah berani, dan selalu berhasil merebut kejayaan sehingga diberi julukan "Dananjaya". Musuh seperti apapun pasti akan ditaklukkannya, sehingga ia juga diberi julukan "Parantapa", yang berarti penakluk musuh. Di antara semua keturunan
Kuru di dalam
silsilah Dinasti Kuru, ia dijuluki "Kurunandana", yang artinya putra kesayangan Kuru. Ia juga memiliki nama lain "Kuruprāwira", yang berarti "kesatria
Dinasti Kuru yang terbaik", sedangkan arti harfiahnya adalah "Perwira Kuru".
Di antara para
Pandawa, Arjuna merupakan kesatria pertapa yang paling teguh. Pertapaannya sangat khusyuk. Ketika ia mengheningkan cipta, menyatukan dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan, segala gangguan dan godaan duniawi tak akan bisa menggoyahkan hati dan pikirannya. Maka dari itu, Sri
Kresna sangat kagum padanya, karena ia merupakan kawan yang sangat dicintai
Kresna sekaligus pemuja
Tuhan yang sangat tulus. Sri
Kresna pernah berkata padanya, "Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbaktilah kepada-Ku, dan serahkanlah dirimu pada-Ku, maka kau akan datang kepada-Ku. Aku berkata demikian, karena kaulah kawan-Ku yang sangat Kucintai".
[1]
Masa muda dan pendidikan
Arjuna dididik bersama dengan saudara-saudaranya yang lain (para
Pandawa dan
Korawa) oleh
Bagawan Drona. Kemahirannya dalam ilmu memanah sudah tampak semenjak kecil. Pada usia muda ia sudah mendapat gelar "
Maharathi" atau "kesatria terkemuka". Ketika Guru Drona meletakkan burung kayu pada pohon, ia menyuruh muridnya satu-persatu untuk membidik burung tersebut, kemudian ia menanyakan kepada muridnya apa saja yang sudah mereka lihat. Banyak muridnya yang menjawab bahwa mereka melihat pohon, cabang, ranting, dan segala sesuatu yang dekat dengan burung tersebut, termasuk burung itu sendiri. Ketika tiba giliran Arjuna untuk membidik, Guru Drona menanyakan apa yang ia lihat. Arjuna menjawab bahwa ia hanya melihat burung saja, tidak melihat benda yang lainnya. Hal itu membuat Guru Drona kagum bahwa Arjuna sudah pintar.
Pada suatu hari, ketika
Drona sedang mandi di
sungai Gangga, seekor
buaya datang mengigitnya. Drona dapat membebaskan dirinya dengan mudah, namun karena ia ingin menguji keberanian murid-muridnya, maka ia berteriak meminta tolong. Di antara murid-muridnya, hanya Arjuna yang datang memberi pertolongan. Dengan panahnya, ia membunuh buaya yang menggigit gurunya. Atas pengabdian Arjuna, Drona memberikan sebuah
astra yang bernama "Brahmasirsa". Drona juga mengajarkan kepada Arjuna tentang cara memanggil dan menarik
astra tersebut. Menurut
Mahabharata,
Brahmasirsa hanya dapat ditujukan kepada
dewa,
raksasa, setan jahat, dan makhluk sakti yang berbuat jahat, agar dampaknya tidak berbahaya.
Pusaka
Arjuna memiliki senjata sakti yang merupakan anugerah para dewata, hasil pertapaannya. Ia memiliki panah
Pasupati yang digunakannya untuk mengalahkan
Karna dalam
Bharatayuddha. Busurnya bernama Gandiwa, pemberian Dewa
Baruna ketika ia hendak membakar hutan Kandawa. Ia juga memiliki sebuah terompet kerang (sangkala) bernama Dewadatta, yang berarti "anugerah Dewa".
Arjuna mendapatkan Dropadi
Artikel utama untuk bagian ini adalah:
DropadiPada suatu ketika, Raja
Drupada dari
Kerajaan Panchala mengadakan sayembara untuk mendapatkan
Dropadi, puterinya. Sebuah ikan kayu diletakkan di atas kubah balairung, dan di bawahnya terdapat kolam yang memantulkan bayangan ikan yang berada di atas. Kesatria yang berhasil memanah ikan tersebut dengan hanya melihat pantulannya di kolam, berhak mendapatkan Dropadi.
Berbagai kesatria mencoba melakukannya, namun tidak berhasil. Ketika
Karna yang hadir pada saat itu ikut mencoba, ia berhasil memanah ikan tersebut dengan baik. Namun ia ditolak oleh Dropadi dengan alasan Karna lahir di
kasta rendah. Arjuna bersama saudaranya yang lain menyamar sebagai
Brahmana, turut serta menghadiri sayembara tersebut. Arjuna berhasil memanah ikan tepat sasaran dengan hanya melihat pantulan bayangannya di kolam, dan ia berhak mendapatkan Dropadi.
Ketika para
Pandawa pulang membawa Dropadi, mereka berkata, "Ibu, engkau pasti tidak akan percaya dengan apa yang kami bawa!".
Kunti (Ibu para Pandawa) yang sedang sibuk, menjawab "Bagi dengan rata apa yang sudah kalian peroleh". Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Kunti, maka para Pandawa bersepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri mereka. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama 1 tahun.
Perjalanan menjelajahi Bharatawarsha
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di
Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para
raksasa. Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana
Yudistira dan
Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak memedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 1 tahun.
Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru
Bharatawarsha atau daratan
India Kuno. Ketika sampai di
sungai Gangga, Arjuna bertemu dengan
Ulupi, puteri Naga Korawya dari istana naga atau Nagaloka. Arjuna terpikat dengan kecantikan Ulupi lalu menikah dengannya. Dari hasil perkawinannya, ia dikaruniai seorang putra yang diberi nama
Irawan. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya menuju wilayah pegunungan
Himalaya. Setelah mengunjungi sungai-sungai suci yang ada di sana, ia berbelok ke selatan. Ia sampai di sebuah negeri yang bernama
Manipura. Raja negeri tersebut bernama Citrasena. Ia memiliki seorang puteri yang sangat cantik bernama
Citrānggadā. Arjuna jatuh cinta kepada puteri tersebut dan hendak menikahinya, namun Citrasena mengajukan suatu syarat bahwa apabila puterinya tersebut melahirkan seorang putra, maka anak puterinya tersebut harus menjadi penerus tahta Manipura oleh karena Citrasena tidak memiliki seorang putra. Arjuna menyetujui syarat tersebut. Dari hasil perkawinannya, Arjuna dan Citrānggadā memiliki seorang putra yang diberi nama
Babruwahana. Oleh karena Arjuna terikat dengan janjinya terdahulu, maka ia meninggalkan Citrānggadā setelah beberapa bulan tinggal di Manipura. Ia tidak mengajak istrinya pergi ke
Hastinapura.
Setelah meninggalkan
Manipura, ia meneruskan perjalanannya menuju arah selatan. Dia sampai di lautan yang mengapit
Bharatawarsha di sebelah selatan, setelah itu ia berbelok ke utara. Ia berjalan di sepanjang pantai Bharatawarsha bagian barat. Dalam pengembaraannya, Arjuna sampai di pantai Prabasa (Prabasatirta) yang terletak di dekat
Dwaraka, yang kini dikenal sebagai
Gujarat. Di sana ia menyamar sebagai seorang pertapa untuk mendekati adik
Kresna yang bernama
Subadra, tanpa diketahui oleh siapa pun. Atas perhatian dari
Baladewa, Arjuna mendapat tempat peristirahatan yang layak di taman Subadra. Meskipun rencana untuk membiarkan dua pemuda tersebut tinggal bersama ditentang oleh Kresna, namun Baladewa meyakinkan bahwa peristiwa buruk tidak akan terjadi. Arjuna tinggal selama beberapa bulan di Dwaraka, dan Subadra telah melayani semua kebutuhannya selama itu. Ketika saat yang tepat tiba, Arjuna menyatakan perasaan cintanya kepada Subadra. Pernyataan itu disambut oleh Subadra. Dengan kereta yang sudah disiapkan oleh Kresna, mereka pergi ke Indraprastha untuk melangsungkan pernikahan.
Baladewa marah setelah mendengar kabar bahwa
Subadra telah kabur bersama Arjuna.
Kresna meyakinkan bahwa Subadra pergi atas kemauannya sendiri, dan Subadra sendiri yang mengemudikan kereta menuju
Indraprastha, bukan Arjuna. Kresna juga mengingatkan Baladewa bahwa dulu ia menolak untuk membiarkan kedua pasangan tersebut tinggal bersama, namun usulnya ditentang oleh Baladewa. Setelah Baladewa sadar, ia membuat keputusan untuk menyelenggarakan upacara pernikahan yang mewah bagi Arjuna dan Subadra di Indraprastha. Ia juga mengajak kaum Yadawa untuk turut hadir di pesta pernikahan Arjuna-Subadra. Setelah pesta pernikahan berlangsung, kaum
Yadawa tinggal di Indraprastha selama beberapa hari, lalu pulang kembali ke
Dwaraka, namun Kresna tidak turut serta.
Terbakarnya hutan Kandawa
Pada suatu ketika, Arjuna dan
Kresna berkemah di tepi
sungai Yamuna. Di tepi hutan tersebut terdapat hutan lebat yang bernama Kandawa. Di sana mereka bertemu dengan
Agni,
Dewa Api. Agni berkata bahwa hutan Kandawa seharusnya telah musnah dilalap api, namun Dewa
Indra selalu menurunkan hujannya untuk melindungi temannya yang bernama
Taksaka, yang hidup di hutan tersebut. Maka, Agni memohon agar Kresna dan Arjuna bersedia membantunya menghancurkan hutan Kandawa. Kresna dan Arjuna bersedia membantu Agni, namun terlebih dahulu mereka meminta Agni agar menyediakan senjata kuat bagi mereka berdua untuk menghalau gangguan yang akan muncul. Kemudian Agni memanggil
Baruna,
Dewa Lautan. Baruna memberikan
busur suci bernama Gandiwa serta tabung berisi anak
panah dengan jumlah tak terbatas kepada Arjuna. Untuk Kresna, Baruna memberikan
Cakra Sudarsana. Dengan senjata tersebut, mereka berdua menjaga agar Agni mampu melalap hutan Kandawa sampai habis.
Arjuna dalam masa pencapaian sorga
Relief Arjuna dan
Siwa pada candi Surawana (Surowono),
Jawa Timur. Di sini tampak Arjuna dan Siwa yang menyamar sebagai pemburu, sedang bertengkar mengenai siapa yang telah memanah babi hutan.
Setelah
Yudistira kalah bermain dadu, para
Pandawa beserta
Dropadi mengasingkan diri ke hutan. Kesempatan tersebut dimanfa'atkan oleh Arjuna untuk bertapa demi memperoleh kesaktian dalam peperangan melawan para sepupunya yang jahat. Arjuna memilih lokasi bertapa di gunung Indrakila. Dalam usahanya, ia diuji oleh tujuh
bidadari yang dipimpin oleh
Supraba, namun keteguhan hati Arjuna mampu melawan berbagai godaan yang diberikan oleh para bidadari. Para bidadari yang kesal kembali ke kahyangan, dan melaporkan kegagalan mereka kepada
Dewa Indra. Setelah mendengarkan laporan para bidadari, Indra turun di tempat Arjuna bertapa sambil menyamar sebagai seorang
pendeta. Dia bertanya kepada Arjuna, mengenai tujuannya melakukan tapa di gunung Indrakila. Arjuna menjawab bahwa ia bertapa demi memperoleh kekuatan untuk mengurangi penderitaan rakyat, serta untuk menaklukkan musuh-musuhnya, terutama para
Korawa yang selalu bersikap jahat terhadap para
Pandawa. Setelah mendengar penjelasan dari Arjuna, Indra menampakkan wujudnya yang sebenarnya. Dia memberikan anugerah kepada Arjuna berupa senjata sakti.
Setelah mendapat anugerah dari
Indra, Arjuna memperkuat tapanya ke hadapan
Siwa. Siwa yang terkesan dengan tapa Arjuna kemudian mengirimkan seekor babi hutan berukuran besar. Ia menyeruduk gunung Indrakila hingga bergetar. Hal tersebut membuat Arjuna terbangun dari tapanya. Karena ia melihat seekor babi hutan sedang mengganggu tapanya, maka ia segera melepaskan anak panahnya untuk membunuh babi tersebut. Di saat yang bersamaan,
Siwa datang dan menyamar sebagai pemburu, turut melepaskan anak panah ke arah babi hutan yang dipanah oleh Arjuna. Karena kesaktian Sang Dewa, kedua anak panah yang menancap di tubuh babi hutan itu menjadi satu.
Lukisan dari
Himachal Pradesh yang dibuat sekitar
abad ke-19, menggambarkan adegan saat Arjuna dijemput oleh para penghuni kahyangan.
Pertengkaran hebat terjadi antara Arjuna dan
Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Mereka sama-sama mengaku telah membunuh babi hutan siluman, namun hanya satu anak panah saja yang menancap, bukan dua. Maka dari itu, Arjuna berpikir bahwa si pemburu telah mengklaim sesuatu yang sebenarnya menjadi hak Arjuna. Setelah adu mulut, mereka berdua berkelahi. Saat Arjuna menujukan serangannya kepada si pemburu, tiba-tiba orang itu menghilang dan berubah menjadi Siwa. Arjuna meminta ma'af kepada Sang Dewa karena ia telah berani melakukan tantangan. Siwa tidak marah kepada Arjuna, justru sebaliknya ia merasa kagum. Atas keberaniannya, Siwa memberi anugerah berupa panah sakti bernama "
Pasupati".
Setelah menerima anugerah tersebut, Arjuna dijemput oleh para penghuni kahyangan untuk menuju kediaman
Indra, raja para dewa. Di sana Arjuna menghabiskan waktu selama beberapa tahun. Di sana pula Arjuna bertemu dengan bidadari
Urwasi. Karena Arjuna tidak mau menikahi bidadari Urwasi, maka Urwasi mengutuk Arjuna agar menjadi banci. Kutukan itu dimanfaatkan oleh Arjuna pada saat para Pandawa menyelesaikan hukuman pembuangan mereka dalam hutan. Sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa harus hidup dalam penyamaran selama satu tahun. Pandawa beserta
Dropadi menuju ke
kerajaan Wirata. Di sana Arjuna menyamar sebagai guru tari yang banci, dengan nama samaran
Brihanala. Meskipun demikian, Arjuna telah berhasil membantu putra mahkota kerajaan Wirata, yaitu pangeran
Utara, dengan menghalau musuh yang hendak menyerbu kerajaan Wirata.
Meletusnya perang
Setelah menjalani masa pembuangan selama 13 tahun para
Pandawa ingin memperoleh kembali kerajaannya. Namun ketika sampai di sana, hak mereka ditolak dengan tegas oleh
Duryodana, bahkan ia menantang untuk berperang. Demi kerajaannya, para Pandawa menyetujui untuk melakukan perang.
Arjuna menerima Bhagawadgita
Kresna, adik
Baladewa, tidak ingin terlibat langsung dalam peperangan antara
Pandawa dan
Korawa. Ia ingin salah satu pihak memilih tentaranya, sedangkan pihak yang lain memilihnya sebagai penasihat. Akhirnya,
Duryodana memilih tentaranya, sedangkan Arjuna memilih Kresna sebagai kusir keretanya selama delapan belas hari pertarungan di Medan Kuru atau
Kurukshetra. Dalam
Mahabharata, peran Kresna sebagai kusir bermakna "pemandu" atau "penunjuk jalan", yaitu memandu Arjuna melewati segala kebimbangan hatinya dan menunjukkan jalan kebenaran kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang diuraikan Kresna kepada Arjuna disebut
Bhagawadgita.
Hal itu bermula beberapa saat sebelum
perang di Kurukshetra. Arjuna melakukan inspeksi terhadap pasukannya, agar ia bisa mengetahui siapa yang harus ia bunuh dalam pertempuran nanti. Tiba-tiba Arjuna dilanda pergolakan batin ketika ia melihat kakeknya, guru besarnya, saudara sepupu, teman sepermainan, ipar, dan kerabatnya yang lain berkumpul di
Kurukshetra untuk melakukan pembantaian besar-besaran. Arjuna menjadi tak tega untuk membunuh mereka semua. Dilanda oleh masalah batin, antara mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertekad untuk mengundurkan diri dari pertempuran. Arjuna berkata:
“ | Kresna yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di hadapan saya, dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota badan saya gemetar dan mulut saya terasa kering.....Kita akan dikuasai dosa jika membunuh penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh para putra Drestarastra dan kawan-kawan kita. O Kresna, suami Dewi Laksmi, apa keuntungannya bagi kita, dan bagaimana mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak keluarga kita sendiri?[2][3] | ” |
Melihat hal itu,
Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran
agama Hindu, menguraikan ajaran-ajaran kebenaran agar semua keraguan di hati Arjuna sirna. Kresna menjelaskan, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang sepantasnya dilakukan Arjuna sebagai kewajibannya di medan perang. Selain itu Kresna menunjukkan bentuk semestanya kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang dijabarkan Kresna tersebut dikenal sebagai
Bhagawadgita, yang berarti "Nyanyian Tuhan". Kitab Bhagawad Gita yang sebenarnya merupakan suatu bagian dari
Bhismaparwa, menjadi kitab tersendiri yang sangat terkenal dalam ajaran
Hindu, karena dianggap merupakan intisari dari ajaran-ajaran
Weda.
Arjuna dalam Bharatayuddha
Dalam
pertempuran di Kurukshetra, atau
Bharatayuddha, Arjuna bertarung dengan para kesatria hebat dari pihak
Korawa, dan tidak jarang ia membunuh mereka, termasuk panglima besar pihak Korawa yaitu
Bisma. Di awal pertempuran, Arjuna masih dibayangi oleh kasih sayang Bisma sehingga ia masih segan untuk membunuhnya. Hal itu membuat
Kresna marah berkali-kali, dan Arjuna berjanji bahwa kelak ia akan mengakhiri nyawa Bisma. Pada pertempuran di hari kesepuluh, Arjuna berhasil membunuh Bisma, dan usaha tersebut dilakukan atas bantuan dari
Srikandi. Setelah
Abimanyu putra Arjuna gugur pada hari ketiga belas, Arjuna bertarung dengan Jayadrata untuk membalas dendam atas kematian putranya. Pertarungan antara Arjuna dan
Jayadrata diakhiri menjelang senja hari, dengan bantuan dari Kresna.
Pada pertempuran di hari ketujuh belas, Arjuna terlibat dalam duel sengit melawan
Karna. Ketika panah Karna melesat menuju kepala Arjuna,
Kresna menekan kereta Arjuna ke dalam tanah dengan kekuatan saktinya sehingga panah Karna meleset beberapa inci dari kepala Arjuna. Saat Arjuna menyerang Karna kembali, kereta Karna terperosok ke dalam lubang (karena sebuah kutukan). Karna turun untuk mengangkat kembali keretanya yang terperosok.
Salya, kusir keretanya, menolak untuk membantunya. Karena mematuhi etika peperangan, Arjuna menghentikan penyerangannya bila kereta Karna belum berhasil diangkat. Pada saat itulah Kresna mengingatkan Arjuna atas kematian
Abimanyu, yang terbunuh dalam keadaan tanpa senjata dan tanpa kereta. Dilanda oleh pergolakan batin, Arjuna melepaskan panahnya yang mematikan ke kepala Karna. Senjata itu memenggal kepala Karna.
Kehidupan setelah Bharatayuddha
Tak lama setelah
Bharatayuddha berakhir,
Yudistira diangkat menjadi Raja
Kuru dengan pusat pemerintahan di
Hastinapura. Untuk menengakkan
dharma di seluruh
Bharatawarsha, sekaligus menaklukkan para raja kejam dengan pemerintahan tiran, maka Yudistira menyelenggarakan
Aswamedha Yadnya. Upacara tersebut dilakukan dengan melepaskan seekor
kuda dan kuda itu diikuti oleh Arjuna beserta para prajurit. Daerah yang dilalui oleh kuda tersebut menjadi wilayah
Kerajaan Kuru. Ketika Arjuna sampai di
Manipura, ia bertemu dengan
Babruwahana, putra Arjuna yang tidak pernah melihat wajah ayahnya semenjak kecil. Babruwahana bertarung dengan Arjuna, dan berhasil membunuhnya. Ketika Babruwahana mengetahui hal yang sebenarnya, ia sangat menyesal. Atas bantuan
Ulupi dari
negeri Naga, Arjuna hidup kembali.
Tiga puluh enam tahun setelah Bharatayuddha berakhir,
Dinasti Yadu musnah di Prabhasatirtha karena perang saudara.
Kresna dan
Baladewa, yang konon merupakan
kesatria paling sakti dalam dinasti tersebut, ikut tewas namun tidak dalam waktu yang bersamaan. Setelah berita kehancuran itu disampaikan oleh Daruka, Arjuna datang ke
kerajaan Dwaraka untuk menjemput para wanita dan anak-anak. Sesampainya di Dwaraka, Arjuna melihat bahwa kota gemerlap tersebut telah sepi.
Basudewa yang masih hidup, tampak terkulai lemas dan kemudian wafat di mata Arjuna. Sesuai dengan amanat yang ditinggalkan Kresna, Arjuna mengajak para wanita dan anak-anak untuk mengungsi ke
Kurukshetra. Dalam perjalanan, mereka diserang oleh segerombolan perampok. Arjuna berusaha untuk menghalau serbuan tersebut, namun kekuatannya menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Dengan sedikit pengungsi dan sisa harta yang masih bisa diselamatkan, Arjuna menyebar mereka di wilayah Kurukshetra.
Setelah Arjuna berhasil menjalankan misinya untuk menyelamatkan sisa penghuni Dwaraka, ia pergi menemui
Resi Byasa demi memperoleh petunjuk. Arjuna mengadu kepada Byasa bahwa kekuatannya menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Byasa yang bijaksana sadar bahwa itu semua adalah takdir Yang Maha Kuasa. Byasa menyarankan bahwa sudah selayaknya para Pandawa meninggalkan kehidupan duniawi. Setelah mendapat nasihat dari Byasa, para Pandawa spakat untuk melakukan perjalanan suci menjelajahi
Bharatawarsha.
Perjalanan suci dan kematian
Perjalanan suci yang dilakukan oleh para
Pandawa diceritakan dalam kitab
Prasthanikaparwa atau
Mahaprasthanikaparwa. Dalam perjalanan sucinya, para Pandawa dihadang oleh api yang sangat besar, yaitu
Agni. Ia meminta Arjuna agar senjata Gandiwa beserta tabung anak panahnya yang tak pernah habis dikembalikan kepada
Baruna, sebab tugas
Nara sebagai Arjuna sudah berakhir di zaman
Dwaparayuga tersebut. Dengan berat hati, Arjuna melemparkan senjata saktinya ke lautan, ke kediaman Baruna. Setelah itu, Agni lenyap dari hadapannya dan para Pandawa melanjutkan perjalanannya.
Ketika para Pandawa serta istrinya memilih untuk mendaki gunung
Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka, Arjuna gugur di tengah perjalanan setelah kematian
Nakula,
Sahadewa, dan
Dropadi.
Arjuna di Nusantara
Arjuna versi wayang Bali.
Di Nusantara, tokoh Arjuna juga dikenal dan sudah terkenal dari dahulu kala. Arjuna terutama menjadi populer di daerah
Jawa,
Bali,
Madura, dan
Lombok. Di Jawa dan kemudian di Bali, Arjuna menjadi tokoh utama dalam beberapa
kakawin, seperti misalnya
Kakawin Arjunawiwāha,
Kakawin Pārthayajña, dan
Kakawin Pārthāyana (juga dikenal dengan nama
Kakawin Subhadrawiwāha. Selain itu Arjuna juga didapatkan dalam beberapa relief candi di pulau Jawa misalkan
candi Surowono.
Arjuna dalam dunia pewayangan Jawa
Arjuna juga merupakan seorang tokoh ternama dalam dunia
pewayangan dalam budaya Jawa Baru. Di bawah ini disajikan beberapa ciri khas yang mungkin berbeda dengan ciri khas Arjuna dalam kitab
Mahābhārata versi
India dengan
bahasa Sansekerta.
Sifat dan kepribadian
Arjuna seorang
kesatria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid
Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi
brahmana di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Ia dijadikan kesatria unggulan para dewa untuk membinasakan
Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Dewa Indra, bergelar Prabu Karitin. dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain: Gendewa (dari
Bhatara Indra), Panah Ardadadali (dari
Bhatara Kuwera), Panah Cundamanik (dari
Bhatara Narada).
Arjuna memiliki sifat cerdik dan pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang
Bharatayuddha, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan
Jayadrata. Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia
moksa (mati sempurna) bersama keempat saudaranya yang lain di gunung
Himalaya.
Ia adalah petarung tanpa tanding di medan laga, meski bertubuh ramping berparas rupawan sebagaimana seorang dara, berhati lembut meski berkemauan baja, kesatria dengan segudang
istri dan kekasih meski mampu melakukan tapa yang paling berat, seorang
kesatria dengan kesetiaan terhadap keluarga yang mendalam tapi kemudian mampu memaksa dirinya sendiri untuk membunuh saudara tirinya. Bagi generasi tua
Jawa, dia adalah perwujudan lelaki seutuhnya. Sangat berbeda dengan
Yudistira, dia sangat menikmati hidup di
dunia. Petualangan cintanya senantiasa memukau
orang Jawa, tetapi secara aneh dia sepenuhnya berbeda dengan
Don Juan yang selalu mengejar wanita. Konon Arjuna begitu halus dan tampan sosoknya sehingga para puteri begitu, juga para dayang, akan segera menawarkan diri mereka. Merekalah yang mendapat kehormatan, bukan Arjuna. Ia sangat berbeda dengan
Wrekudara. Dia menampilkan keanggunan tubuh dan kelembutan hati yang begitu dihargai oleh orang Jawa berbagai generasi.
Pusaka
Arjuna versi wayang Jawa.
Wayang kulit Arjuna yang diberi warna.
Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain: Keris Kiai Kalanadah diberikan pada
Gatotkaca saat mempersunting Dewi Pergiwa (putra Arjuna), Panah Sangkali (dari
Resi Drona), Panah Candranila, Panah Sirsha, Panah Kiai Sarotama,
Panah Pasupati, Panah Naracabala, Panah Ardhadhedhali, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni (diberikan pada
Abimanyu), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak
Jayengkaton (pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain:
Panglimunan,
Tunggengmaya,
Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan
Asmaragama. Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu Kampuh atau Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu
Ekalaya, raja negara Paranggelung).
Istri dan keturunan
Dalam
Mahabharata versi pewayangan Jawa, Arjuna mempunyai banyak sekali istri,itu semua sebagai simbol penghargaan atas jasanya ataupun atas keuletannya yang sekaku berguru kepada banyak pertapa. Berikut sebagian kecil istri dan anak-anaknya:
- Dewi Subadra, berputra Raden Abimanyu;
- Dewi Sulastri, berputra Raden Sumitra;
- Dewi Larasati, berputra Raden Bratalaras;
- Dewi Ulupi atau Palupi, berputra Bambang Irawan;
- Dewi Jimambang, berputra Kumaladewa dan Kumalasakti;
- Dewi Ratri, berputra Bambang Wijanarka;
- Dewi Dresanala, berputra Raden Wisanggeni;
- Dewi Wilutama, berputra Bambang Wilugangga;
- Dewi Manuhara, berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati;
- Dewi Supraba, berputra Raden Prabakusuma;
- Dewi Antakawulan, berputra Bambang Antakadewa;
- Dewi Juwitaningrat, berputra Bambang Sumbada;
- Dewi Maheswara;
- Dewi Retno Kasimpar;
- Dewi Dyah Sarimaya;
- Dewi Srikandi.
Julukan
Dalam wiracarita Mahabharata versi nusantara, Arjuna banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain:
Parta (pahlawan perang),
Janaka (memiliki banyak istri),
Pemadi (tampan),
Dananjaya,
Kumbaljali,
Ciptaning Mintaraga (pendeta suci),
Pandusiwi,
Indratanaya (putra Batara Indra),
Jahnawi (gesit
trengginas),
Palguna,
Indrasuta,
Danasmara (perayu ulung) dan
Margana (suka menolong). "Begawan Mintaraga" adalah nama yang digunakan oleh Arjuna saat menjalani laku tapa di puncak Indrakila dalam rangka memperoleh senjata sakti dari dewata, yang akan digunakan dalam perang yang tak terhindarkan melawan musuh-musuhnya, yaitu keluarga
Korawa.
Nama lain
Nama lain Arjuna di bawah ini merupakan nama lain Arjuna yang sering muncul dalam kitab-kitab
Mahabharata atau
Bhagawad Gita yang merupakan bagian daripadanya, dalam versi
bahasa Sanskerta. Nama-nama lain di bawah ini memiliki makna yang sangat dalam, mengandung pujian, dan untuk menyatakan rasa kekeluargaan (nama-nama yang dicetak tebal dan miring merupakan sepuluh nama Arjuna).
- Anagha (Anaga, yang tak berdosa)
- Bhārata (Barata, keturunan Bhārata)
- Bhārataśreṣṭha (Barata-sresta, keturunan Bhārata yang terbaik)
- Bhāratasattama (Bharata-satama, keturunan Bhārata yang utama)
- Bhārataśabhā (Barata-saba, keturunan Bharata yang mulia)
- Dhanañjaya (perebut kekayaan)*
- Gandīvi (Gandiwi, pemilik Gandiwa, senjata panahnya)
- Gudakeśa (penakluk rasa kantuk, yang berambut halus)
- Jishnu (hebat ketika marah)*
- Kapidhwaja (yang memakai panji berlambang monyet)
- Kaunteya / Kuntīputra (putra Dewi Kunti)
- Kīrti (yang bermahkota indah)*
- Kurunandana (putra kesayangan dinasti Kuru)
- Kurupravīra (Kuru-prawira, perwira Kuru, ksatria dinasti Kuru yang terbaik)
- Kurusattama (Kuru-satama, keturunan dinasti Kuru yang utama)
- Kuruśṛṣṭha (Kuru-sresta, keturunan dinasti Kuru yang terbaik)
- Mahābāhu (Maha-bahu, yang berlengan perkasa)
- Pāṇḍava (Pandawa, putra Pandu)
- Parantapa (penakluk musuh)*
- Pārtha (keturunan Partha atau Dewi Kunti)*
- Phālguna (yang lahir saat bintang Uttara Phalguna muncul)*
- Puruṣaṛṣabhā (Purusa-rsaba, manusia terbaik)
- Sawyaśachī (Sawya-saci, yang mampu memanah dengan tangan kanan maupun kiri)*
- Śwetawāhana (Sweta-wahana, yang memiliki kuda berwarna putih)*
- Wibhatsu (yang bertarung dengan jujur)*
- Wijaya (yang selalu memenangkan setiap pertempuran)*